Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

  Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian 
perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan 
sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pasal 
(1) angka 1.
  Undang-Undang SPPA menggantikan Undang-Undang Nomor 3 tahun 
1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak 
tersebut digantikan karena belum memperhatikan dan menjamin kepentingan 
si anak, baik anak pelaku, anak saksi, dan anak korban. Dalam Undang-
Undang Perlindungan Anak hanya melindungi anak sebagai korban, 
sedangkan anak sebagai pelaku terkadang diposisikan sama dengan seperti 
pelaku orang dewasa.
  Undang-Undang SPPA ini menekankan kepada proses diversi dimana 
dalam proses peradilan ini sangat memperhatikan kepentingan anak, dan 
kesejahteraan anak. Pada setiap tahapan yaitu penyidikan di kepolisisan, 
penuntutan di kejaksaan, dan pemeriksaan perkara di pengadilan wajib 
mengupayakan diversi berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang SPPA. 
  Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah 
The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi 
dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, 
pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.
Sistem Peradilan Pidana Anak ini menjadikan para aparat penegak 
hukum untuk terlibat aktif dalam proses menyelesaikan kasus tanpa harus 
melalui proses pidana sehingga menghasilkan putusan pidana. Penyidik 
kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum yang dimaksudkan 
dalam Undang-Undang SPPA ini, selain itu ada penuntut umum atau jaksa, 
dan ada hakim. Dalam Undang-Undang SPPA ini juga mengatur lembaga 
yang terkait dalam proses diluar peradilan anak misalnya ada Bapas, Pekerja 
Sosial Profesional, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga 
Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan 
Kesejahteraan Sosial (LPKS), Keluarga atau Wali Pendamping, dan Advokat 
atau pemberi bantuan hukum lainnya yang ikut berperan di dalamnya. 

  Sejak lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) diharapkan model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak di Indonesia semakin baik. Tak heran jika banyak pihak memberi harapan besar terhadap lahirnya UU SPPA ini.  UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Ruang Pelayanan Khusus Anak(RPKA) dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai pengganti tempat Penahanan, Pembinaan dan Lapas anak, sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA.LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya sedangkan LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. 

  Sampai dengan per juni 2017, jumlah anak yang terdaftar di UPT yang dikelola Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) berjumlah 910Tahanan Anak. Jumlah ini meningkat di banding tahun 2016 yang berjumlah 907 Tahanan Anak, angka ini juga tidak termasuk jumlah tahanan anak yang dikelola oleh Polisi dimana angkanya tidak tersedia dan tidak dapat diakses. implementasi UU SPPA masih berjalan lamban. oleh karena itu pemerintah harus fokus dan segera mengeluarkan peraturan pelaksana UU SPPA yang bermutu. Pemerintah juga harus mempercepat realisasi dan optimalisasi infrastruktur serta sumber daya manusia khususnya apgakum dalam lingkup peradilan pidana Anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lahirnya Pemasyarakatan

JARINGAN KOMPUTER